Malutnetwork - Muhammadiyah telah dikenal sebagai organisasi yang mandiri, memiliki banyak amal usaha yang bergerak di berbagai bidang sosial, seperti pendidikan, kesehatan, juga ekonomi.
Selain kemandirian tersebut, Muhammadiyah juga memiliki banyak tokoh besar yang berperan penting dalam keberlangsungan dan kelestarian ilmu pengetahuan di Indonesia. Mereka adalah pemikir Islam yang memiliki keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan.
Salah satu pemikir serta cendekiawan muslim Muhammadiyah adalah Kuntowijoyo.
Kuntowijoyo merupakan seorang budayawan, sastrawan, sekaligus sejarawan. Ia telah masyhur sebagai pengarang novel, cerpen, dan puisi, juga seorang pemikir dan penulis buku-buku tentang Islam, menjadi kolomnis di berbagai media, dan aktivis berintegritas di persyarikatan Muhammadiyah.
Baca Juga: Hamka, Sang Kiai Roman
Minatnya terhadap sejarah sudah dapat dirasakan dari sejak ia masih belia. Hal itu terlihat ketika Kunto kecil sangat tertarik pada guru ngajinya yang sangat menguasai dan lihai dalam menceritakan sejarah, yakni Ustaz Mustajab.
Pada waktu ia masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar, ketertarikannya terhadap dunia kepenulisan juga sudah terlihat. Ia sangat menggemari gurunya yang merupakan seorang penulis, yaitu Sariamsi Arifin dan Yusmanam.
Kedua gurunya di madrasah tersebut yang kemudian mendorong dan selalu membangkitkan semangat Kunto untuk menjadi penulis produktif.
Keinginan menulisnya itu pun kemudian memotivasi Kunto untuk terus membaca dan membaca, karena ia sadar sepenuhnya bahwa tidak akan bisa menulis seseorang jika ia tidak membaca. Menulis dan membaca merupakan satu kesatuan yang bersinergi menjadikannya sebagai seorang cendekiawan muslim kemudian.
Baca Juga: Ketika Cut Nyak Dhien Dikhianati Pengikutnya Sendiri
Lebih dari 50 judul buku telah dihasilkan oleh tangannya, baik berupa fiksi maupun karya ilmiah, di antara karya-karya tersebut adalah Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru; Kereta Api yang Berangkat Pagi (Novel, 1966); Dilarang Mencintai Bunga-bunga (Cerpen, 1968); Khotbah di Atas Bukit (Novel, 1976); Impian Amerika (Novel, 1998); Pengantar Ilmu Sejarah (1995); Metodologi Sejarah (1994), dan masih banyak lagi.
Cendekiawan dan pemikir Islam ini memang begitu mendalami sejarah. Ia sangat menghargai kearifan budaya Jawa. Menurutnya, belajar sejarah adalah belajar kearifan.
Kearifan tersebut kemudian tidak hanya menjadi omong kosong baginya, tetapi juga menjadi prinsip hidup, bahwasanya hidup sebagai penulis, intelektual, budayawan, maupun sastrawan yang rendah hati, sederhana, dan bisa bergaul dengan siapa pun.
Filosofi hidup Kunto hingga ia meninggal adalah hidup untuk menulis dan menulis agar tetap hidup. Rumahnya di Jalan Ampel, Condongcatur, Sleman menjadi saks betapa ia sangat mencintai ilmu pengetahuan. Rumah itu penuh sesak dengan buku, bahkan ia memiliki perpustakaan pribadi di lantai atas rumahnya.
Artikel Terkait
Tjokroaminoto dan Gambaran Eksploitasi Pribumi Sejak Kecil
Tolak Presidential Threshold, DPP KNPI Usul Begini
Meninggal Dunia, Media Sosial Laura Anna Banjir Komentar
Sah, Ingub Larangan Perayaan Nataru 2022 Resmi Ditandatangani
Lolos Semi Final, Lima Atlet Boxing Camp Kota Ternate Optimis Peroleh Mendali Emas