Penulis: Mukhtar Adam, Om Pala Melanesia
-----------------------------
Fenomena penurunan Dana Transfer ke Daerah (TKDD) dalam rancangan RAPBN 2026 menimbulkan gelombang keberatan dari berbagai kepala daerah.
BAHKAN beberapa Gubernur menginisiasi pertemuan dengan Menteri Keuangan Purbaya, mereka mengajukan Argumennya yang sederhana, kapasitas fiskal daerah akan menurun, pembangunan akan tersendat, dan pelayanan publik berpotensi terganggu, apa benar ? ataukah kita perlu melihat bagaimana daerah Menyusun RAPBD 2026.
Jika kita menelisik lebih dalam bagaimana rumusan kebijakan fiskal daerah, persoalan utama bukan pada jumlah dana transfer, melainkan pada kualitas belanja daerah itu sendiri.
Sebanyak apa pun dana ditransfer dari pusat, jika pola penggunaannya tidak produktif, maka dampak ekonominya akan tetap lemah dan tidak berkelanjutan.
Baca Juga: Agroforestry : Solusi Ketahanan Pangan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Maluku Utara
Jika membaca Nota Keuangan dan RAPBD yang diajukan, indicator-indikator capaian dalam Nota Keuangan dan RKPD, tidak linier dengan indicator dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA), yang menjadi alat penjabaran dari capaian yang ditetapkan, sehingga kajian teknokrasinya menjadi tidak konsisten.
Disisi lain, penetapan Pagu Anggaran, yang didasar pada Standar Harga dan Standar Belanja, cenderung tidak efisien dan menjadi sumber pemicu utama inflasi, walau saat yang sama pemerintah ingin mengendalikan inflasi, namun dalam standar harga pemerintah daerah justru telah menambah belanja inflasi yang melewati target yang ditetapkan.
Akibat kemudian belanja menjadi tidak efisien, penggunaan anggaran cenderung boros, alokasi anggaran untuk kebutuhan 2 kegiatan hanya dialokasikan 1 kegiatan karena penetapan standar harga dan standar belanja yang relative tinggi diatas ekspektasi inflasi yang ditetapkan.
Baca Juga: Naluri Tua
Transfer Besar, Belanja Tak Produktif
Otonomi daerah yang diharapkan menjadi perpanjangan tangan pemerintah ke daerah UU 23/2014), justru menjadi sumber pembangunan yang melemahkan daerah, mimpi menjadi APBD yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, justru menjadi sumber kekayaan pejabat daerah.
Fakta pertumbuhan kekayaan pejabat daerah naik beberapa kali lipat lebih tinggi dari kenaikan pendapatan perkapita masyarakat, yang diduga aliran fiskal justru parkir terakhir di kantong-kantong pejabat daerah, yang tercermin dari penambahan asset pejabat.
Akibat kemudian, praktek yang dilakukan pemerintah daerah, dari aspek penganggaran daerah menunjukan kecenderungan yang berbeda, tuntutan kenaikan dari pusat, sering di suarakan, namun akumulasi belanja justru parkir di belanja pegawai, belanja operasi, perjalanan dinas, administrasi kegiatan.
Artikel Terkait
Soal Visi Daerah, Belajar Dari Sarundajang
Menteri Saifullah, Timnas Bola dan Potret Partai Politik Kita
Obral Amnesti dan Abolisi Pemimpin Negarawan
Cerita Tentang Tete Ali dan Om Ogono, Sisa Potret Buram 80 Tahun Kemerdekaan RI
Malut United, Konsesi Tambang dan Tribun VVIP di Atap Rumah itu
Untung Mana, Menjarah atau Merampas Aset Tindak Pidana
Makan Untuk Indonesia Emas dan Bermartabat