Penulis: Asri Juliana, S.Hut
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Khairun Ternate
-------------------------------------
Perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian dan kehutanan Indonesia saat ini. Perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, serta bencana iklim seperti banjir dan kekeringan telah memengaruhi produktivitas lahan dan ketersediaan pangan masyarakat.
DISISI LAIN, tekanan terhadap sumber daya hutan terus meningkat akibat kebutuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Ditengah meningkatnya ancaman perubahan iklim dan ketidakpastian produksi pangan, sistem agroforestry adalah salah satu solusi nyata untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat, terutama di wilayah pedesaan dan sekitar hutan.
Di banyak daerah Indonesia, termasuk Halmahera Barat, masyarakat telah lama mempraktikkan agroforestry secara tradisional. Pola tanam yang menggabungkan tanaman kehutanan, tanaman pertanian, tanaman pangan, dan kadang ternak dalam satu lahan adalah contoh nyata bagaimana masyarakat menggabungkan aspek ekonomi, pangan, dan konservasi lingkungan dalam satu sistem pengelolaan.
Baca Juga: Naluri Tua
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Adhy et al., 2025 berjudul “Optimalisasi Penggunaan Lahan dengan Pola Agroforestri di Kampus IV Dusun Bangko, Halmahera Barat” terdapat pola tanam yang digunakan dalam memanfaatkan lahan yang tersedia yakni pola tanam agroforestri Alternative Rows.
Dalam memanfaatkan lahannya, petani menanam berbagai jenis tanaman hutan dan tanaman pertanian diantaranya Jati Putih (Gmelina arborea), Matoa (Pometia pinnata), Linggua (Petrocarpus indicus), Gofasa (Vitex cofasuss), dan tanaman MPTS lainnya yakni Mangga (Mangifera indica) Durian (Durio) serta tanaman pertanian Pisang (Musa Paradisiac), Ubi kayu (Manihot esculenta), Jagung (Zea mays) dan beberapa jenis tanaman hortikultura.
Pengembangan agroforestry dilakukan agar memberikan manfaat kepada masyarakat, salah satunya menguatkan ketahanan pangan lokal. Ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan beras. Banyak daerah di Indonesia termasuk Kabupaten Halmahera Barat memiliki sumber pangan lokal yang kaya seperti sagu, singkong, ubi, jagung, dan hasil hutan bukan kayu lainnya. Sistem agroforestry memungkinkan masyarakat tidak tergantung pada satu jenis tanaman saja namun saat satu komoditas gagal panen akibat cuaca ekstrem, komoditas lainnya tetap bisa dipanen.
Baca Juga: TKD dan Kebijakan Malaikat Jibril Kas Negara
Agroforestri atau yang sering juga disebut Wanatani merupakan salah satu solusi untuk masalah konversi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian. Konversi lahan yang mengakibatkan masalah lingkungan seperti banjir, kekeringan, erosi tanah, kelangkaan/kepunahan keanekaragaman hayati, penurunan kesuburan tanah hingga perubahan lingkungan dapat dikurangi dengan sistem agroforestri.
Agroforestry menjadi strategi adaptasi yang tangguh. Keberagaman vegetasi di lahan agroforestry menciptakan mikroklimat yang lebih sejuk, menjaga kesuburan tanah, meningkatkan daya serap air, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan mengurangi risiko gagal panen. Selain itu, pohon-pohon dalam sistem ini mampu menyerap karbon dari atmosfer sehingga dapat membantu menekan laju perubahan iklim.
Oleh karena itu, dengan adanya sistem agroforestry dapat menjaga produktivitas lahan, memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat, serta mendukung pelestarian lingkungan.
Artikel Terkait
Obral Amnesti dan Abolisi Pemimpin Negarawan
Cerita Tentang Tete Ali dan Om Ogono, Sisa Potret Buram 80 Tahun Kemerdekaan RI
Malut United, Konsesi Tambang dan Tribun VVIP di Atap Rumah itu
Untung Mana, Menjarah atau Merampas Aset Tindak Pidana
Makan Untuk Indonesia Emas dan Bermartabat
TKD dan Kebijakan "Malaikat Jibril" Kas Negara
Naluri Tua