Anwar Husen
Pemerhati Sosial/ Tinggal di Tidore, Maluku Utara
-----------------------------------
"Bagi saya, negara ini punya momentum langka: sosok kepala negara yang teruji semangat cinta bangsanya. Sosok yang muncul setelah negara ini di obrak-abrik rezim sebelumnya, bahkan efek buruknya akan terasa entah sampai kapan. Semua kita harus berjiwa besar. Ini adalah kesempatan untuk berbenah"
SAYA BERSYUKUR, bisa mendeskripsikan sedikit tipikal seorang Purbaya Yudhi Sadewa, dalam tulisan berjudul, Menkeu Purbaya, Bukan Menteri "Bersorban", di media Tandaseru [11/09/ 2025], tepat tiga hari sejak beliau dilantik sebagai menteri keuangan.
Apa yang perlu disyukuri? Ada 2 hal: tesis saya ternyata tak jauh dengan karakter aslinya hingga saat ini, dan sedikit lebih cepat dibanding tulisan bertema sama, dari penulis-penulis hebat. Meski, sumber informasinya hanya sebatas berita media sejak beliau dilantik. Sebelumnya, nol pengetahuan tentang sosoknya. Sosok yang di hari-hari ini, bikin banyak gebrakan. Menggebrak banyak pakem berpemerintahan yang sudah dianggap "baku", hingga dipandang sebagai menteri yang kontrovesial. Tetapi janganlah terpaku pada gayanya, itu hanya kulit. Budaya tenggang rasa kita, hanya ada di komunitas masyarakat tradisional di pelosok negeri. Di lingkungan pemerintahan, hanya cerita dongeng yang dijadikan pembenaran membungkus kebodohan. Lihat bobotnya dan komentari. Bahkan silahkan bantah argumen dan logika kebijakannya.
Baca Juga: Makan Untuk Indonesia Emas dan Bermartabat
Banyak sudah rekan kerja kemenkeu yang kena semprotnya. Dari menteri keuangan yang digantikannya, anggota DPR, BGN, Pertamina, BUMN, menteri kesehatan, menteri ESDM, Luhut Binsar Pandjaitan [atasannya di kemenkomarves dulu]. Dari tokoh eksternal, ada ekonom hebat yang akademisi Didik J. Rachbini, hingga pengamat Rocky Gerung. Semuanya kena, tak ada "tenggang rasa". Deretan sosok yang memujinya. Ada ekonom Peter F. Gontha, Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan masih banyak lagi, yang hebat-hebat kapasitasnya dibanding saya.
Dan ini masih tentang kebijakan Purbaya, yang seolah tak pernah habis jurus-jurus kebijakan ekonominya. Ini soal pemangkasan dana Transfer Ke Daerah [TKD], yang bikin para kepala daerah hilang akal dan ciut nyalinya.
Hingga saat ini, tema implikasi pemangkasan TKD ini, masih menjadi headline media dan objek diskusi di mana-mana. Di Maluku Utara, media Klikhalmahera.com [3 Oktober 2025], memasang judul, "Tak Dipangkas Pun TKD ke Maluku Utara tak Akan Pernah Cukup". Isinya memuat pernyataan Ekonom Universitas Khairun Mukhtar Adam. Usai membacanya, saya mengirim pesan WhatsApp ke karib ini, berisi potongan berita dan candaan: itu, kalau bagi kepala daerah yang tahu masalah daerah dan bagaimana cara menyelesaikannya. Tetapi bagi kepala daerah yang kurang faham masalah daerahnya sendiri, apalagi cara menyelesaikan, dipangkaspun, bisa jadi dianggap masih banyak sisanya. Sembari mengirim emoji sedang tertawa lepas, kami berjanji bertemu usainya menjadi nara sumber dalam sebuah diskusi di Tidore hari ini, bertema sama, pemangkasan TKD.
Baca Juga: Untung Mana, Menjarah atau Merampas Aset Tindak Pidana
Kepala daerah tak faham masalah daerah, apalagi cara memulai, dan bagaimana menyelesaikannya? Boleh jadi. Tak usah berdebat. Sistem politik pemilihan kepala daerah, hingga kepala negara di negara ini, memang didesain untuk lebih memilih figur yang di sukai, bukan yang berkualitas dan kapabel. Syukur-syukur yang disukai adalah yang kapabel. Ada pembantu, staf. Tetapi visi pribadi seorang kepala daerah harus dominan mewarnai dokumen rencana daerah. Itu idealnya, visioner.
Ini konteks logika dan analognya, bagaimana visi kepala daerah itu, bisa memberi warna yang terbaca pada postur APBD. Saya mengutipnya dari salah satu tulisan Ali Syarief, pemimpin redaksi media FusilatNews, tentang logika dari arah APBN tahun 2026. APBN bukan sekadar angka, melainkan cermin ideologi pembangunan sebuah negara. Dari cara pemerintah menyusun prioritas anggaran, kita bisa membaca: ke mana arah bangsa ini akan dibawa. Struktur APBN 2026 berbicara lantang: pertahanan, keamanan, dan gizi menjadi primadona, sementara sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, industri, dan riset dibiarkan berjalan pincang.
Sudah dua tulisan saya sebelumnya bertema mirip, saya menyertakan rilis lembaga ICW tentang data, fakta dan potensi penyalahgunaan kewenangan berbentuk korupsi di sektor pemerintahan. Kali ini dirasa cukup. Pemicu dan jejaknya bisa ditelusuri. 80 persen daerah di Indonesia bergantung hidupnya dari dana transfer pusat. Sudah begitu, ini belum genap setahun usia kepala daerah hasil pemilihan serentak. Kepala daerah kita yang terpilih, mungkin lebih 80 persen juga, bukan orang kaya yang bisa membiayai kontestasinya sendiri.
Baca Juga: Malut United, Konsesi Tambang dan Tribun VVIP di Atap Rumah itu
Artikel Terkait
Soal Visi Daerah, Belajar Dari Sarundajang
Menteri Saifullah, Timnas Bola dan Potret Partai Politik Kita
Obral Amnesti dan Abolisi Pemimpin Negarawan
Cerita Tentang Tete Ali dan Om Ogono, Sisa Potret Buram 80 Tahun Kemerdekaan RI
Malut United, Konsesi Tambang dan Tribun VVIP di Atap Rumah itu
Untung Mana, Menjarah atau Merampas Aset Tindak Pidana
Makan Untuk Indonesia Emas dan Bermartabat