Anwar Husen
Pemerhati Sosial/ Tinggal di Tidore, Maluku Utara
------------------------------------
"Jadi, sahkan saja regulasinya biar negara yang akan 'menjarah'nya, dan kita semua kebagian hasil jarahan itu secara adil dan bermartabat. Kita berdemo dengan mempertaruhkan berbagai resiko, tetapi akibatnya penyelenggaraan negara menjadi sehat, dan kita semua untung banyak".
Pekan-pekan ini, keindonesiaan kita sedang diuji. Ujian pertama Presiden Prabowo Subianto, sang presiden ksatria. Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Demonstrasi, pengrusakan fasilitas publik dan pribadi, hingga penjarahan terjadi di banyak tempat. Dari Jakarta, berimbas ke berbagai daerah. Pemicu umumnya kita tahu semua. Meski, bisa juga di cari-cari.
Siang kemarin di sebuah WAG, ketika mendiskusikan tentang demonstrasi yang marak akhir-akhir ini, saya berkomentar bahwa di mana-mana, umumnya demonstrasi itu berakar pada soal derajat kesejahteraan hidup warga. Tuntutan warga negara atas haknya untuk hidup sejahtera. Soal keadilan sosial, isi perut. Demonstrasi dengan eskalasi, sumber daya dan resiko yang besar, harus korelatif dengan perubahan variabel-variabel dasar dalam bernegara yang memengaruhi kesejahteraan rakyat. Variabel dasar praktek bernegara yang membuat warga negara jadi hidup susah, menghambat distribusi kesejahteraan.
Baca Juga: Malut United, Konsesi Tambang dan Tribun VVIP di Atap Rumah itu
Kalau itu tidak terjadi, sama saja kita merugi. Itu matematiknya. Faktanya di hari-hari ini, negara lagi "susah". Susah karena tak cukup uang. APBN kita terkuras untuk membiayai bunga hutang yang jatuh tempo dan program prioritas pemerintah jangka panjang, semisal Makan Gratis Bergizi [MBG]. Sektor lain kena imbasnya. Dana transfer ke daerah menurun drastis. Daerah menjerit, butuh uang. Ada daerah yang kehabisan akal, menaikkan pajak PBB selangit dan warga menjerit berbuntut chaos. Di Pati, contohnya.
Mengutip Kompas TV [21/8], Fraksi PDI-Perjuangan [PDI-P] DPR RI menilai turunnya alokasi Transfer ke Daerah [TKD] dalam RAPBN 2026, dapat menghambat pelayanan publik sekaligus pembangunan daerah.
Pemerintah memangkas TKD dari Rp919 triliun pada 2025 menjadi Rp650 triliun pada 2026 atau turun 24,8 persen.
Anggota DPR RI Fraksi PDI-P Rio A.J. Dondokambey mengatakan, penurunan ini akan menimbulkan risiko besar bagi pemerintah daerah.
“Penurunan drastis [sebesar] Rp269 triliun berpotensi menghambat pelayanan publik dan pembangunan daerah, sekaligus mendorong pemerintah daerah membuat kebijakan baru yang dapat membebani rakyat", kata Rio.
Baca Juga: Cerita Tentang Tete Ali dan Om Ogono, Sisa Potret Buram 80 Tahun Kemerdekaan RI
Dalam kondisi susah, ditengah ketimpangan yang tak adil, yang harus terjadi adalah bagaimana caranya supaya kita bisa hidup senang. Maka demonstrasinya harus paralel, memperjuangkan fakta "kesenangan" itu. Canda saya, saat hidup lagi susah, kurangi bergaya. Nanti setelah senang, tingkatkan lagi gaya. Maksudnya, ada orientasi dan motivasi yang jelas dan kuat dalam memperjuangkan aspirasi. Saya melanjutkan, andaikan isu demonstrasinya adalah tuntutan untuk mempercepat proses pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana [UU PATP], mungkin saja efeknya akan sangat korelatif. Akan ada redistribusi pendapatan dan kesejahteraan, tabungan negara bertambah, transfer ke daerah naik, peluang kerja terbuka dan daya beli makin baik. Di situ korelasi kesejahteraannya. Dan kalau isu itu disuarakan, hampir pasti akan terwujud, dengan eskalasi yang besar itu.
Seorang karib menanggapi komentar saya tadi dengan canda pula. Kalau demonstrasinya pakai teori, pasti tidak akan jadi. Karib ini bisa benar. Mengutip tulisan Ali Syarief di media FusilatNews [31/8] berjudul, "Antara Suara dan Amarah: Membaca Demonstran dan Penjarah dalam Perspektif Sosial", Fenomena sosial selalu menyimpan wajah ganda. Di satu sisi, kita menyaksikan ribuan orang turun ke jalan, berteriak menuntut perubahan, mengibarkan suara kolektif. Di sisi lain, muncul pula kelompok-kelompok yang bergerak liar, merusak, bahkan menjarah rumah para politisi. Sekilas keduanya sama-sama “massa”, tetapi sesungguhnya mereka berbeda jika dilihat dari kacamata sosiologi: ada yang dapat disebut sebagai crowd, ada yang lebih dekat ke mass, bahkan ada yang menjelma sebagai gang.
Artikel Terkait
Kisah Dua Cahaya
Soal Visi Daerah, Belajar Dari Sarundajang
Menteri Saifullah, Timnas Bola dan Potret Partai Politik Kita
Obral Amnesti dan Abolisi Pemimpin Negarawan
Cerita Tentang Tete Ali dan Om Ogono, Sisa Potret Buram 80 Tahun Kemerdekaan RI
Malut United, Konsesi Tambang dan Tribun VVIP di Atap Rumah itu